5 Tari Tradisional Khas Banyumasan | TradisiKita - Banyumas yakni nama Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota Banyumas yakni Purwokerto. Adapun batas wilayah Banyumas yakni Kabupaten Brebes di utara; Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, dan Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan barat. Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah terdapat di ujung utara wilayah kabupaten ini. Masyarakat Banyumas memakai bahasa jawa dialek banyumasan yang berbeda dengan bahasa jawa mataram. Dalam hal kebudayaan, Kabupaten Banyumas memilik bermacam-macam kesenian. Baik itu seni pertunjukan menyerupai Wayang Kulit Gagrang Banyumasan, Begalan, Calung, Kenthongan, Selawatan Jawa, dan Bongkel. Demikian pula dengan tari tradisional khas Banyumasan ada beberapa macam.
Artikel kali ini TradisiKita akan mengupas beberapa kesenian, khususnya seni tari daerah yang berasal dari Banyumasan. Tari Tradisional Khas Banyumasan ini telah berkembang di Banyumas semenjak lampau kala. Bahkan tidak hanya di Banyumas, tari gaya Banyumasan ini juga mendapat perhatian penikmat seni tari dan seniman diwilayah Surakarta.
Dengan meninggalnya penari itu ada salah satu kerabatnya yang berjulukan pak Samin hendak meneruskan. Dia lahir di desa Bantar, ia mengikuti jejak saudaranya sebagai penari lengger. Walaupun ia seorang laki-laki tetapi sehabis ia sudah berganti busana lengger tidak ada yang tau jikalau ia yakni seorang pria. Karena bentuk tubuh, bunyi dan wajah sudah berganti menyerupai wanita, pak Saminpun laku manggung bahkan dikenal hingga di kabupaten Banjar, Kebumen, Purbalingga, Cilacap dan Brebes.
Pak Samin yakni penari laki-laki pertama yang memerankan diri menjadi lengger. Dia meninggal di desa Bonjok. Oleh alasannya yakni itu di desa Bonjok hingga kini tidak diperbolehkan ada penari lengger perempuan manggung disitu, kecuali lengger lanang/banci. Seiring berkembangnya jaman nama pak Samin penari lengger lanangpun hilang begitu aja. Akan tetapi Mbah Tamiarji yakni salah satu tokoh/sesepuh lengger di desa Pemancangan, menyebarkan dan meneruskan jejak pak min dan saudaranya itu. Dia merasa hal itu yakni hal yang sakral, maka pada setiap satu tahun sekali diadakan pementasan lengger lanang, untuk program selamatan tanam padi.
Tari Lengger lanang tersebut diiringan ketawang puspowarno minggah lancaran gunung sari diteruskan gunungsari geguritan atau yang dikenal kini gunung sari kali bagoran.
Tari Lengger sendiri merupakan tarian khas Banyumasan yang dimainkan oleh dua orang perempuan atau ludang keringh. Di tengah-tengah pertunjukkan muncul seorang penari laki-laki disebut badhud (badut/bodor). Tarian ini umumnya dilakukan di atas panggung dan diiringi oleh alat musik.
Untuk selanjutnya ada calung. sintren yang merupakan tari tradisional khas Banyumasan. Calung Sintren yakni tarian yang dimainkan oleh laki-laki yang mengenakan baju perempuan. Tarian ini biasanya menempel pada kesenian ebeg. Di tengah-tengah pertunjukan biasanya pemain ditindih dengan lesung dan dimasukan ke dalam kurungan, di mana dalam kurungan itu ia berdandan secara perempuan dan menari bersama pemain yang lain.
Sintren (atau juga dikenal dengan Lais) adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini dikenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari dongeng cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Baca juga : 10 Tari Tradisional dari Jawa Barat.
Namun ada yang berbeda dengan Sintren khas Banyumasan, dimana pemain atau penarinya yakni laki-laki. Sementara didaerah lain penari sintren yakni wanita.
Aksimuda yakni kesenian khas Banyumasan yang bernapaskan Islam, berupa silat yang digabung dengan tari-tarian.Sebagian orang menyebut kesenian ini sebagai “peksi muda” yang artinya “burung muda” yang lincah. Dimaksudkan untuk menggambarkan dinamisnya para cowok dalam olah gerakan silat dan tarian.
Kesenian ini sudah hampir punah alasannya yakni perubahan jaman. Di Banyumas, kelompok kesenian ini hanya tinggal satu kelompok bau tanah yaitu di kecamatan Tambak, Banyumas timur. Kelompok ini menamakan dirinya kelompok agresi muda “setia muda”. Meskipun banyak memakai kata muda, namun pada kenyataannya mereka sudah tua-tua, dan hanya beberapa yang masih terlihat muda (generasi penerus).
Kesenian aksimuda ini dipimpin seorang pahlawan yang menguasai betul perihal gerakan pencak silat, tenaga dalam, magic, tarian, ketukan musik dan keselarasannya. Selain sebagai hiburan yang atraktif, kesenian ini mengandung banyak sekali arti dalam setiap lagu dan gerakannya.
Menurut sejarahnya, kesenian ini muncul pada jaman kolonial Belanda. Pada waktu dulu kesenian ini merupakan modifikasi dari latihan beladiri pencak silat. Modifikasi pencak silat ini dilakukan alasannya yakni beladiri waktu itu tidak boleh oleh Belanda. Makara dengan kearifan lokal dan kecerdasan para pendekar, maka dibuatlah sebuah kesenian yang menggabungkan unsur musik, tari, nyanyian (sholawat dan syiir) dan pencak silat.
Meskipun berkesenian, mereka tidak meninggalkan unsur pencak silat sebagai bela diri. Kesenian ini diawali oleh pembacaan sholawat bersama sambil diiringi oleh rebana dan kendang. Kemudian di sambung rodat atau tarian sambil duduk dan berdiri. Lalu dilanjutkan dengan gerakan-gerakan dasar silat untuk pemanasan dengan masih diiringi musik sholawatan. Lantas disambung dengan tarung silat bergantian masing-masing orang. Setelah itu dilanjutkan dengan laga tenaga dalam dengan banyak sekali gaya.
Sebagai puncak program diperlihatkan aksi-aksi debus yang menegangkan serta aksi-aksi kesurupan hingga selesai.
Ebeg merupakan bentuk kesenian tari kawasan Banyumas yang memakai boneka kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan kepalanya didiberi ijuk sebagai rambut. Tarian Ebeg khas Banyumas ini menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda. Para penari melaksanakan gerakan tari dengan penuh kegagahan.
Diperkirakan kesenian Ebeg ini sudah ada semenjak zaman purba tepatnya kadab insan mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian bau tanah yakni adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk menyerupai ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
Selain itu Ebeg dianggap sebagai seni budaya yang benar-benar orisinil dari Jawa Banyumasan mengingat didalamnya sama sekali tidak ada imbas dari budaya lain. Berbeda dengan Wayang yang merupakan apresiasi budaya Hindu India dengan banyak sekali tokoh-tokohnya. Ebeg sama sekali tidak menceritakan tokoh tertentu dan tidak termakan agama tertentu, baik Hindu maupun Islam. Bahkan dalam lagu-lagunya justru banyak menceritakan perihal kehidupan masyarakat tradisional, terkadang diberisi pantun, wejangan hidup dan menceritakan perihal kesenian Ebeg itu sendiri.
Lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir keseluruhan memakai bahasa Jawa Banyumasan atau biasa disebut Ngapak komplit dengan logat khasnya. Jarang ada lagu Ebeg yang memakai lirik bahasa Jawa Mataraman dan bahasa selain Banyumasan. Beberapa rujukan lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan yakni Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga dan lain-lain.
Daeng merupakan seni tari tradisional dari desa Kanding - Banyumas yang mempunyai jangkauan pentas yang sudah luas. Tetapi dalam hal ini belum banyak orang yang mengetahui perihal tari tradisional tersebut khususnya untuk masyarakat yang berada di kabupaten Banyumas.
Tarian Daeng tersebut terdiri dari 11 orang, 3 penayagan (yang mengiringi) dan 8 orang sebagai penari dan penyanyinya. Mereka terdiri dari anak – anak hingga orang tua. Kesenian tersebut terbentuk dari silsilah keluarga atau turun temurun ke keluarga, dan kini sudah yang ke 13.
Sebenarnya kesenian ini sudah usang berdiri, akan tetapi kesenian ini kurang publikasi, dan belum mempunyai penopangr. Padahal kesenian ini sering diundang di banyak sekali program yang diadakan oleh pemerintah. Sehingga sayang jikalau kesenian tradisional yang dikenal sebagai tari Daeng tersebut tidak dilestarikan dan tidak dipublikasikan ke khalayak umum.
Dulu kesenian Daeng ini mempunyai unsur mistis, namun sekarang, seiring perkembangan zaman, unsur mistis dari kesenian ini sudah mulai ditinggalkan.
Demikian tadi Sobat Tradisi, 5 Tari Tradisional Khas Banyumas, Jawa Tengah. Semoga berkhasiat.
Referensi :
Artikel kali ini TradisiKita akan mengupas beberapa kesenian, khususnya seni tari daerah yang berasal dari Banyumasan. Tari Tradisional Khas Banyumasan ini telah berkembang di Banyumas semenjak lampau kala. Bahkan tidak hanya di Banyumas, tari gaya Banyumasan ini juga mendapat perhatian penikmat seni tari dan seniman diwilayah Surakarta.
Tari Tradisional Khas Banyumasan :
1. Tari Lengger
Sebuah tari tradisional yang pernah berjaya di Banyumasan yakni tari lengger gunung sari. Gunung sari yakni nama tempat, dimana penari lengger yang dikenal pada masa lalu, lahir dan dimakamkan. Tepatnya di wilayah Kelurahan Bantar, kecamatan Wango, kabupaten Banyumas. Penari itu meninggal di kawasan sokaraja, alasannya yakni terbawa arus sungai hingga ke desa Kebagoran. Meninggalnya penari itu menciptakan tokoh lengger dari pesawahan (Rawalo), merasa kehilangan. Lalu untuk mengenangnya, dijadikanya Geguritan Gunungsari, dinamai Kalibagoran. Nama yang disesuai dengan meninggalnya penari lengger waktu itu di kali di desa Kebagoran. Sedangkan makamnya di desa bantar, disalah satu bukit. Bukit itu dinamai Gunungsari.Dengan meninggalnya penari itu ada salah satu kerabatnya yang berjulukan pak Samin hendak meneruskan. Dia lahir di desa Bantar, ia mengikuti jejak saudaranya sebagai penari lengger. Walaupun ia seorang laki-laki tetapi sehabis ia sudah berganti busana lengger tidak ada yang tau jikalau ia yakni seorang pria. Karena bentuk tubuh, bunyi dan wajah sudah berganti menyerupai wanita, pak Saminpun laku manggung bahkan dikenal hingga di kabupaten Banjar, Kebumen, Purbalingga, Cilacap dan Brebes.
Pak Samin yakni penari laki-laki pertama yang memerankan diri menjadi lengger. Dia meninggal di desa Bonjok. Oleh alasannya yakni itu di desa Bonjok hingga kini tidak diperbolehkan ada penari lengger perempuan manggung disitu, kecuali lengger lanang/banci. Seiring berkembangnya jaman nama pak Samin penari lengger lanangpun hilang begitu aja. Akan tetapi Mbah Tamiarji yakni salah satu tokoh/sesepuh lengger di desa Pemancangan, menyebarkan dan meneruskan jejak pak min dan saudaranya itu. Dia merasa hal itu yakni hal yang sakral, maka pada setiap satu tahun sekali diadakan pementasan lengger lanang, untuk program selamatan tanam padi.
Tari Lengger lanang tersebut diiringan ketawang puspowarno minggah lancaran gunung sari diteruskan gunungsari geguritan atau yang dikenal kini gunung sari kali bagoran.
Tari lengger lanang |
Tari Lengger sendiri merupakan tarian khas Banyumasan yang dimainkan oleh dua orang perempuan atau ludang keringh. Di tengah-tengah pertunjukkan muncul seorang penari laki-laki disebut badhud (badut/bodor). Tarian ini umumnya dilakukan di atas panggung dan diiringi oleh alat musik.
2. Calung Sintren
Untuk selanjutnya ada calung. sintren yang merupakan tari tradisional khas Banyumasan. Calung Sintren yakni tarian yang dimainkan oleh laki-laki yang mengenakan baju perempuan. Tarian ini biasanya menempel pada kesenian ebeg. Di tengah-tengah pertunjukan biasanya pemain ditindih dengan lesung dan dimasukan ke dalam kurungan, di mana dalam kurungan itu ia berdandan secara perempuan dan menari bersama pemain yang lain.
Sintren (atau juga dikenal dengan Lais) adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini dikenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari dongeng cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Baca juga : 10 Tari Tradisional dari Jawa Barat.
Namun ada yang berbeda dengan Sintren khas Banyumasan, dimana pemain atau penarinya yakni laki-laki. Sementara didaerah lain penari sintren yakni wanita.
3. Aksimuda
Aksimuda yakni kesenian khas Banyumasan yang bernapaskan Islam, berupa silat yang digabung dengan tari-tarian.Sebagian orang menyebut kesenian ini sebagai “peksi muda” yang artinya “burung muda” yang lincah. Dimaksudkan untuk menggambarkan dinamisnya para cowok dalam olah gerakan silat dan tarian.
Kesenian ini sudah hampir punah alasannya yakni perubahan jaman. Di Banyumas, kelompok kesenian ini hanya tinggal satu kelompok bau tanah yaitu di kecamatan Tambak, Banyumas timur. Kelompok ini menamakan dirinya kelompok agresi muda “setia muda”. Meskipun banyak memakai kata muda, namun pada kenyataannya mereka sudah tua-tua, dan hanya beberapa yang masih terlihat muda (generasi penerus).
Kesenian aksimuda ini dipimpin seorang pahlawan yang menguasai betul perihal gerakan pencak silat, tenaga dalam, magic, tarian, ketukan musik dan keselarasannya. Selain sebagai hiburan yang atraktif, kesenian ini mengandung banyak sekali arti dalam setiap lagu dan gerakannya.
Menurut sejarahnya, kesenian ini muncul pada jaman kolonial Belanda. Pada waktu dulu kesenian ini merupakan modifikasi dari latihan beladiri pencak silat. Modifikasi pencak silat ini dilakukan alasannya yakni beladiri waktu itu tidak boleh oleh Belanda. Makara dengan kearifan lokal dan kecerdasan para pendekar, maka dibuatlah sebuah kesenian yang menggabungkan unsur musik, tari, nyanyian (sholawat dan syiir) dan pencak silat.
Meskipun berkesenian, mereka tidak meninggalkan unsur pencak silat sebagai bela diri. Kesenian ini diawali oleh pembacaan sholawat bersama sambil diiringi oleh rebana dan kendang. Kemudian di sambung rodat atau tarian sambil duduk dan berdiri. Lalu dilanjutkan dengan gerakan-gerakan dasar silat untuk pemanasan dengan masih diiringi musik sholawatan. Lantas disambung dengan tarung silat bergantian masing-masing orang. Setelah itu dilanjutkan dengan laga tenaga dalam dengan banyak sekali gaya.
Sebagai puncak program diperlihatkan aksi-aksi debus yang menegangkan serta aksi-aksi kesurupan hingga selesai.
Aksi Muda | suaramerdeka.com |
4. Ebeg
Ebeg merupakan bentuk kesenian tari kawasan Banyumas yang memakai boneka kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan kepalanya didiberi ijuk sebagai rambut. Tarian Ebeg khas Banyumas ini menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda. Para penari melaksanakan gerakan tari dengan penuh kegagahan.
Diperkirakan kesenian Ebeg ini sudah ada semenjak zaman purba tepatnya kadab insan mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian bau tanah yakni adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk menyerupai ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
Selain itu Ebeg dianggap sebagai seni budaya yang benar-benar orisinil dari Jawa Banyumasan mengingat didalamnya sama sekali tidak ada imbas dari budaya lain. Berbeda dengan Wayang yang merupakan apresiasi budaya Hindu India dengan banyak sekali tokoh-tokohnya. Ebeg sama sekali tidak menceritakan tokoh tertentu dan tidak termakan agama tertentu, baik Hindu maupun Islam. Bahkan dalam lagu-lagunya justru banyak menceritakan perihal kehidupan masyarakat tradisional, terkadang diberisi pantun, wejangan hidup dan menceritakan perihal kesenian Ebeg itu sendiri.
Ebeg Khas Banyumas | srikandimagazine.blogspot.com |
Lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir keseluruhan memakai bahasa Jawa Banyumasan atau biasa disebut Ngapak komplit dengan logat khasnya. Jarang ada lagu Ebeg yang memakai lirik bahasa Jawa Mataraman dan bahasa selain Banyumasan. Beberapa rujukan lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan yakni Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga dan lain-lain.
5. Tari Daeng Khas Banyumasan
Daeng merupakan seni tari tradisional dari desa Kanding - Banyumas yang mempunyai jangkauan pentas yang sudah luas. Tetapi dalam hal ini belum banyak orang yang mengetahui perihal tari tradisional tersebut khususnya untuk masyarakat yang berada di kabupaten Banyumas.
Tarian Daeng tersebut terdiri dari 11 orang, 3 penayagan (yang mengiringi) dan 8 orang sebagai penari dan penyanyinya. Mereka terdiri dari anak – anak hingga orang tua. Kesenian tersebut terbentuk dari silsilah keluarga atau turun temurun ke keluarga, dan kini sudah yang ke 13.
Sebenarnya kesenian ini sudah usang berdiri, akan tetapi kesenian ini kurang publikasi, dan belum mempunyai penopangr. Padahal kesenian ini sering diundang di banyak sekali program yang diadakan oleh pemerintah. Sehingga sayang jikalau kesenian tradisional yang dikenal sebagai tari Daeng tersebut tidak dilestarikan dan tidak dipublikasikan ke khalayak umum.
Dulu kesenian Daeng ini mempunyai unsur mistis, namun sekarang, seiring perkembangan zaman, unsur mistis dari kesenian ini sudah mulai ditinggalkan.
Demikian tadi Sobat Tradisi, 5 Tari Tradisional Khas Banyumas, Jawa Tengah. Semoga berkhasiat.
Referensi :
- /search?q=tari-banyumasan-modern
- /search?q=tari-banyumasan-modern
Advertisement